Praktik Pemeriksaan Panggul Tanpa Izin yang Mengganggu pada Pasien yang Dianestesi

39

Proses pelatihan medis dirancang untuk membekali dokter masa depan dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memberikan perawatan pasien yang berkualitas. Namun, praktik yang sudah berlangsung lama di beberapa sekolah kedokteran telah menimbulkan masalah etika yang serius: pelaksanaan pemeriksaan panggul pada wanita yang dianestesi tanpa persetujuan atau sepengetahuan mereka. Tradisi yang sangat meresahkan ini, yang sering digambarkan sebagai “rahasia kecil yang kotor”, memperlihatkan hilangnya otonomi pasien secara signifikan dan menimbulkan pertanyaan tentang nilai-nilai inti etika medis.

Asal Usul dan Luasnya Praktek

Praktik tersebut, yang dirinci dalam sebuah buku yang membahas pengalaman penulis di Fakultas Kedokteran Universitas Tufts, melibatkan mahasiswa kedokteran, seringkali mahasiswa laki-laki, melakukan praktik pemeriksaan panggul pada pasien yang dianestesi selama operasi. Seorang siswa menceritakan, “Saya sudah siap, berada di urutan kelima…Kami belajar lebih dari sekedar keterampilan ujian. Dengan memanfaatkan kerentanan wanita tersebut—saat dia terbaring telanjang di atas meja dalam keadaan tidak sadarkan diri—kami belajar bahwa pasien adalah alat yang dapat dieksploitasi untuk pendidikan kami.” Model “mesin penjual otomatis” ini—di mana siswa mengantri untuk melakukan ujian—telah dikutuk sebagai “serangan keterlaluan terhadap martabat dan otonomi pasien.”

Praktik ini tidak terbatas pada satu institusi saja. Hal ini digambarkan sebagai tradisi “kuno” yang terjadi di sekolah kedokteran secara global, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang seberapa luas permasalahan ini sebenarnya.

Pembelaan dan Kekhawatiran Etis

Banyak sekolah kedokteran dan rumah sakit yang membela praktik tersebut, dengan menyatakan bahwa pemeriksaan tersebut termasuk dalam “persetujuan tersirat” pasien untuk operasi. Mereka berpendapat bahwa pasien sadar bahwa mereka memasuki rumah sakit pendidikan dan oleh karena itu harus mengharapkan keterlibatan siswa. Namun, penelitian mengungkapkan adanya keterputusan: banyak pasien tidak menyadari interaksi mereka dengan mahasiswa kedokteran atau bahkan apakah mereka berada di rumah sakit pendidikan. Ambiguitas ini berasal dari “kebohongan dan penipuan yang disengaja”, yang menyoroti potensi pengabaian terhadap transparansi pasien.

Erosi Tanggung Jawab dan Persetujuan

Tren yang memprihatinkan menunjukkan terkikisnya tanggung jawab di kalangan mahasiswa kedokteran. Sebuah survei menemukan bahwa 100% pelajar telah diperkenalkan kepada pasien sebagai “dokter” oleh anggota tim klinis. Penelitian lebih lanjut menunjukkan penurunan rasa tanggung jawab pelajar untuk memberi tahu pasien bahwa mereka adalah pelajar, terutama jika melibatkan prosedur invasif. Hal ini mengarah pada pendekatan “jangan tanya, jangan beri tahu” dalam mencari persetujuan untuk pemeriksaan panggul. Data menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga mahasiswa kedokteran yang disurvei sangat tidak setuju dengan pernyataan: “Rumah sakit harus mendapatkan izin yang jelas untuk keterlibatan mahasiswa dalam pemeriksaan panggul.”

Dokter sering kali berusaha meremehkan sensitivitas pemeriksaan panggul, dengan membandingkannya dengan operasi perut atau prosedur oftalmologis. Namun, faktanya memeriksa vagina wanita pada dasarnya bersifat intim. Seorang profesor menyatakan bahwa ia lebih memilih “generasi baru dokter yang terlatih…daripada bangsa perempuan yang vaginanya dilindungi dari baterai oleh mahasiswa kedokteran”, yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan pasien.

Perspektif Pasien dan Perlunya Perubahan

Meskipun ada pembenaran ini, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan (sampai 100%) ingin mendapat informasi tentang pemeriksaan vagina yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran. Fakta bahwa pasien sangat menghargai jika diminta menimbulkan pertanyaan penting: mengapa begitu sulit bagi profesional medis untuk mendapatkan persetujuan? Seringkali tanggapannya adalah meminta akan berujung pada penolakan.

Pada akhirnya, survei nasional tersebut secara pasti menyimpulkan: “Namun, pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan tidak melepaskan hak mereka sebagai manusia untuk memiliki kendali penuh atas tubuh mereka sendiri dan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai layanan kesehatan mereka hanya dengan tindakan masuk rumah sakit.” Praktik yang ada saat ini secara langsung bertentangan dengan prinsip dasar ini.

Bertahannya praktik ini menggarisbawahi perlunya perubahan yang mendesak. Menetapkan protokol yang jelas untuk mendapatkan persetujuan berdasarkan informasi—walaupun sulit—sangat penting untuk menjunjung tinggi martabat pasien dan menyelaraskan pendidikan kedokteran dengan standar etika. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa upaya mencapai kemahiran medis tidak mengorbankan otonomi dan rasa hormat pasien.